PESTA PERAK MASA PENGABDIAN DI PERUSAHAAN

Sambil menenteng ijazah, tanpa pengalaman, Bejo mengajukan lamaran kerja di sebuah company. Ia menyerahkan diri untuk dipekerjakan, dididik, dan diatur oleh company itu. Ia memohon pekerjaan (kesibukan, kehormatan, upah, kedudukan, kepercayaan, passion) dengan imbalan: ia bersedia menyerahkan kebebasannya kepada company.

Ia bersedia dites, diwawancarai, diuji, dicobai (dalam masa percobaan), semata-mata supaya dia dapat diterima bergabung di company itu. Alhamdulillah, akhirnya Bejo dapat diterima sebagai ‘cakar’, calon karyawan. Selama tiga bulan selanjutnya, dia diperlakukan sebagai karyawan baru yang harus bekerja sebaik-baiknya, karena kalau sampai melakukan kesalahan, dia dapat diberhentikan sewaktu-waktu.

Status sebagai ‘calon’ ini membuat Bejo dan keluarganya, kerabat, bahkan para tetangganya bungah. Orang tuanya menyelenggarakan kenduri syukuran.

Ia sadar betul, dengan diterima di company, dia akan diberi banyak manfaat. Maka dia manut sepenuhnya pada setiap peraturan yang ditimpakan kepadanya. Kadang ia bahkan bersedia bertahan menerima perlakuan atasannya yang kurang kompeten. Itu semua demi sepaket imbalan.

Satu bulan berlalu. Bulan berganti tahun. Tahun berganti windu. Karir Bejo cemerlang. Bejo, banyak diberi oleh company. Oleh karena paket pemberiannya yang banyak, ia mendapat kepercayaan dari masyarakat, bahkan diterima oleh calon mertua karena pekerjaan dan gajinya yang mapan. Anak-anaknya bisa menuntut ilmu di luar negeri, berkat dana yang diberikan oleh company padanya.

Dia juga – telah dididik oleh company untuk menjadi – semakin pintar. Setelah itu, paket pemberian dari perusahaan semakin membengkak lagi. Ia diberi fasilitas, kepercayaan dan uang yang semakin banyak. Status sosialnya-pun makin  diperhitungkan. Wartawan berdatangan untuk menanyakan sakit flu yang dideritanya.

Terus begitu. Pendek kata, secara pasti ia terus-menerus ‘diberi’ oleh company, sehingga ia menjadi ‘manusia’.

Para senior menjadi tua, lalu pensiun. (Pada masa pensiun, para senior masih juga diberi uang pensiun oleh company, supaya martabatnya tetap terjaga. Mereka hanya punya hak – uang pensiun, tetapi tidak punya kewajiban sama sekali). Bejo diberi kedudukan yang lebih tinggi untuk menggantikan seniornya.

Syahdan 25 tahun kemudian.  Di sebuah ballroom hotel berbintang banyak. Ketika itu Bejo sudah benar-benar berbeda dari Bejo yang mengempit ijazahnya dahulu. Bejo telah menjelma menjadi seorang pemimpin company. Ia sudah berbeda sepenuhnya, karena selama 25 tahun telah diberi segalanya oleh company.

Dari sound system terbaik, suara panggilan Master of Ceremony menyebutkan nama Bejo dengan amat hormat. Secara cermat MC mengucapkan nama permandian, sederet jabatan, dan gelar-gelarnya (Bejo memang sering disekolahkan ke luar negeri, oleh company). Bejo bangkit berdiri dari barisan terdepan deretan sofa VIP, ia mengangguk sekeliling sambil menebar senyuman.

Ia memakai pakaian kebesaran yang bermerek (yang dibeli oleh gaji dari company), berkalung untaian 25 kuntum melati putih. Kemudian ia melangkah anggun ke depan. Langkahnya tertib sesuai dengan anjuran sekolah kepribadian yang pernah diikutinya (sebelum menjadi pejabat, ia diliburkan dan dibiayai oleh company, untuk mengikuti sekolah kepribadian di Negara maju).

Lalu ia menapaki tangga podium sambil menahan silau lampu-lampu blitz para wartawan. Di panggung, ia disambut oleh pelukan para pejabat yang berbaris membentuk pagar betis.

Suara MC merebut perhatian seluruh isi ballroom: “Kita sambut yang terhormat Bapak Direktur, Pimpinan Perusahaan… (dan seterusnya, panjang sekali). Hari ini kita merayakan penganugerahan lencana kesetiaan atas pengabdian yang terhormat bapak … (yang panjang itu) … karena beliau telah mengabdi di perusahaan ini selama 25 tahun!”.

Sebelum kalimat MC berakhir, tepuk tangan segenap hadirin bergemuruh, seakan mau menjebol ballroom mewah itu. Dari arah samping panggung, muncul dua orang mahasiswi kampus ternama. Mereka membawa nampan yang dihias secantik wajahnya. Tubuh ramping mereka terbungkus busana berkelas. Busana indah itu menggunakan sedikit kain, supaya tidak menutupi tubuh yang memang lebih indah.

Kedua gadis mempersilakan pejabat untuk menyematkan pin yang berbentuk angka 25, ke dada Bejo. Pin itu terbuat dari emas murni. Gemuruh tepuk tangan hadirin dihiasi kilatan lampu kamera memberondong menerangi panggung. Dari nampan gadis yang satu lagi, Bejo menerima beberapa amplop, dan sebuah kunci mobil. Semua dikemas dengan warna perak, warna tahun ke 25.

Bejo mengangkat tinggi-tinggi semua hadiah yang diberikan oleh company, ia memberi kesempatan kepada semua wartawan untuk memotret, mengabadikannya. Kemudian, sambil membawa hadiahnya ia melangkah menuju mimbar. Puluhan mike telah tertata rapi seakan menudingnya. Suasana hening. Para hadirin menahan nafas menunggu kata sambutan yang akan diucapkannya.

“Saudari dan saudaraku senasib dan seperjuangan. Pertama-tama, saya mengucapkan terima kasih atas kehadiran saudari dan saudara di tempat ini. Saya tercengang oleh pesta ini. Saya terkejut, karena mendapatkan hadiah sangat luar biasa ini. Saya terhenyak karena tiba-tiba kita semua libur, meninggalkan pekerjaan kita, demi menghormati acara saya ini. Terima kasih.”

“Pekerjaan ini milik Allah. Dia didirikan atas cita-cita luhur, dan atas ridhlo Allah. Tak seorangpun boleh merugikannya. Tidak juga para pemegang saham. Maka, saudari dan saudaraku tercinta, dengan rendah hati ijinkan saya merayakan ulang tahun ke 25 masa kerja saya di perusahaan ini, dengan cara saya. Apakah saudari dan saudara mengijinkan?”

“Mengijinkannnn”, bagaikan paduan suara, seluruh isi ballroom berteriak.

“Apakah saudari dan saudara bersedia ikut bersama saya merayakan ulang tahun masa kerja saya?” Kembali terdengar koor setuju.

“Baik. Terima kasih. Dengan penuh haru saya menerima kado pribadi yang saudari dan saudara berikan dengan tulus kepada saya. Terima kasih, sekali lagi, terima kasih.” Bejo berhenti sejenak, ia tampak hati-hati memilih kata-kata yang akan diucapkannya.

“Tetapi ijinkan saya melakukan koreksi pada kata ‘mengabdi’ yang tertera di banner itu.” Ia menoleh ke back drop di belakangnya. Event Organizer menempelkan ucapan selamat atas pengabdian Bejo selama 25 tahun. “Saya malu disebut sebagai orang yang mengabdi perusahaan ini.” Bejo tersenyum paksa. Seluruh hadirin terdiam, terkejut.

“Dua puluh lima tahun yang lalu, saya melamar kerja di perusahaan ini. Saya datang untuk mencari kerja. Saya mencari nafkah dan marwah. Saya sama sekali tidak bermaksud mengabdi. Saya diberi, bukan memberi. Saya telah menerima bayaran di depan, berupa kepercayaan dari perusahaan, kepercayaan diri, harga diri, status sosial, fasilitas, masa depan, tunjangan-tunjangan, plus harta berlimpah.”

“Saya memang pernah mengabdi, tetapi bukan di sini. Saya mengabdi di Panti Asuhan, mengabdi di masjid, di gereja. Sekali lagi, di sini saya tidak mengabdi, saya cari makan.”

Bejo memandang sekeliling, ia tidak mengharapkan anggukan persetujuan dari hadirin. Di deretan belakang tampak satu orang manggut-manggut. Tetapi tak jelas, karena dia setuju, atau karena gak paham blas.

“Selama 25 tahun, saya telah begitu banyak diberi oleh perusahaan ini. Lalu sekarang saya dirayakan dan diberi lagi. Apakah hadiah ini diberikan karena saya telah mau menerima pemberian perusahaan selama 25 tahun? Apakah tidak lebih elok kalau sekarang saya ganti memberi?” Ia menghela nafas, menurunkan intonasi suaranya.

“Kapada siapapun panitia perhelatan ini, saya ucapkan terima kasih. Tetapi ijinkan saya mengembalikan semua pemberian dari perusahaan yang saya terima hari ini. Sebagai seorang pimpinan, saya tahu betul kebutuhan perusahaan. Saya tahu semua permasalahannya. Saya hafal neraca keuangannya. Ijinkan saya mengembalikan semua hadiah ini sebagai aset perusahaan.” Ia berhenti sejenak. Tidak terdengar tepuk tangan. Hadirin ternganga seolah sedang melihat hantu raksasa.

“Lalu, seperti yang telah saya katakan, saya ingin merayakan 25 tahun masa kerja ini dengan cara saya.” Bejo mengangguk ke arah deretan kursi undangan. Seketika dari sofa VIP perempuan paruh baya berdiri dikawal dua orang pemuda yang memanggul benda terbungkus koran. Mereka bertiga naik ke panggung.

“Bersama keluarga saya, saya ingin mengucapkan rasa terima kasih kami, karena telah dihidupi oleh perusahaan ini selama 25 tahun. Saya ajak saudari dan saudara untuk berdoa bagi perusahaan kita.” Lalu Bejo sekeluarga berdoa di panggung. Mulut para hadirin komat kamit mengucapkan doanya masing-masing.

Kemudian Bejo membuka jas yang dikenakannya, menyingsingkan lengan kemeja, dan membuka bungkusan koran dibantu anak-anaknya. Sambil tersenyum anggun, istrinya menerima pembagian sekop dari tangan sang suami.  Tangan kiri Bejo menggenggam tangan istrinya, dan tangan kanan mengacungkan sekop sambil berkata. “Saudari dan saudara, hari ini kami berempat akan melakukan kerja bakti, memungut sampah plastik dan membersihkan selokan di lingkungan perusahaan kita. Siapa mau ikut?”

Bejo bersama keluarganya membawa sekopnya masing-masing, bergegas pergi ke selokan-selokan. Sejenak perhatiannya teralihkan oleh tulisan di koran pembungkus skop: “Pejabat yang telah ‘mengabdi’ negara selama puluhan tahun, akhirnya dipromosikan ke Cipinang, sebagai seorang pesakitan”.

BANG TOYIB

Rintihan Menyayat di Pohon Beringin

Pada suatu surup, ketika berjalan sendirin di antara Telogolele dan Telogosat, di pulau Sempu, sayup-sayup aku mendengar perempuan dan anak-anak rengeng-rengeng menyanyikan lagu dangdut “Bang Toyib” ciptaan Sandy Sulung.

Walau mereka cuma mendendangkan melodi tanpa kata-kata, tetap aja terdengar miris. Aku hafal syairnya. Lagu itu mengisahkan seorang istri dan anak-anak yang galau karena suami dan papa tercinta tak kunjung pulang: “…Bang Toyib, Bang Toyib, kenapa tak pulang-pulang. Anak-anakmu panggil-panggil namamu…”

Aku menoleh ke sekitar. Tidak tampak siapa-siapa. Tetapi semakin aku berjalan ke arah Telogosat, suara itu semakin jelas, bahkan dapat  kurasakan nada putus-asa yang dalam.

Mengikuti rasa penasaran, kucari sumber suara itu. Rasanya nada rintihan itu berasal dari sebuah pohon besar di depan sana. Maka aku bergegas mendatanginya. Benar saja. Sumber suara memang dari beringin besar itu, tetapi di atas.

Dengan amat susah payah, aku memanjatnya. Suara semakin jelas terdengar. Dan ketika menemukan para penyanyi lagu “Bang Toyib” itu, air mataku menetes. Menjadi jelas bagiku bahwa dua penyanyi yang ada di dalam pohon itu memang kelaparan, kehausan, dan akan segera mati.

Aku tahu bahwa “Bang Toyib” tercinta yang menafkahi mereka tidak akan pernah pulang. Karena lima ratus meter sebelum sampai ke tempat itu, aku melihat si suami,  dan  bapak anak itu, telah menjadi mayat. Luka tembak menganga di dadanya.

Burung jantan itu telah membusuk. Rupanya ia mati ketika sedang menunaikan tugas mulia, mencari nafkah. Ia belum terbiasa untuk mewaspadai moncong senapan pemburu. Pedih sekali membayangkannya.

Ketika mengerami anak-anaknya, induk burung Enggang, atau Rangkong, atau Hornbill dikurung di dalam lubang sebatang pohon besar. Untuk meng hindari bahaya dan udara dingin, mempelai jantan membangun rumah pohon dan menutup pintu dengan bahan dari campuran tanah liat. Loket kecil dibuat untuk memasukkan makanan kesukaan sang permaisuri. Lalu dia segera buka catering khusus untuk keluarga barunya.

Setiap hari ia terbang berkilo-kilo meter untuk men-delivery makanan, dan menyuapi sang kekasih dan anak tercinta. Naas, pada Kamis Kliwon kemarin manusia  menembak dadanya.

Dalam sekarat, ia membayangkan anak-istri di rumah, yang akan pelahan-lahan mati kelaparan.

ot rudarto

BERCERMIN DI PUNGGUNG ARJUNO

Tentunya Tuhan tidak menciptakan gunung sekadar sebagai sebuah latar belakang foto-foto selfie. Sejak berdiri gagah, gunung telah berjanji untuk mendidik setiap pribadi yang berkenan. Pada zaman nabi-nabi, para raja sudah meminta bantuan gunung untuk menggembleng pasukannya.

Berbeda dengan banyak buku pendakian yang lain, buku ini tidak bercerita tentang petualangan, ataupun masalah teknik dan manajemen pendakian. “Bercermin di Punggung Arjuno” khusus membahas peran gunung sebagai ‘guru’ bagi setiap pribadi yang ingin membangun karakter – bagi dirinya sendiri.

Buku ini adalah “proposal” bagi siapa saja  [tua, muda; laki-laki – perempuan; chubby – skinny] yang pengen selangkah lebih mandiri, sejengkal lebih berani, sesenti lebih rendah hati.

“.. Mamulo Nduk, bunuh diri iku dosa. Lha lek awak dhewe bunuh diri ndek gunung, dobel dosane. Mergane awak dhewe yo ngrepoti wong akeh..” Ketiadaan persiapan yang matang, didakwa sebagai pembunuh yang paling mematikan di gunung. ‘Persiapan’ diawali dengan ‘memastikan Tujuan’.