Rintihan Menyayat di Pohon Beringin
Pada suatu surup, ketika berjalan sendirin di antara Telogolele dan Telogosat, di pulau Sempu, sayup-sayup aku mendengar perempuan dan anak-anak rengeng-rengeng menyanyikan lagu dangdut “Bang Toyib” ciptaan Sandy Sulung.
Walau mereka cuma mendendangkan melodi tanpa kata-kata, tetap aja terdengar miris. Aku hafal syairnya. Lagu itu mengisahkan seorang istri dan anak-anak yang galau karena suami dan papa tercinta tak kunjung pulang: “…Bang Toyib, Bang Toyib, kenapa tak pulang-pulang. Anak-anakmu panggil-panggil namamu…”
Aku menoleh ke sekitar. Tidak tampak siapa-siapa. Tetapi semakin aku berjalan ke arah Telogosat, suara itu semakin jelas, bahkan dapat kurasakan nada putus-asa yang dalam.
Mengikuti rasa penasaran, kucari sumber suara itu. Rasanya nada rintihan itu berasal dari sebuah pohon besar di depan sana. Maka aku bergegas mendatanginya. Benar saja. Sumber suara memang dari beringin besar itu, tetapi di atas.
Dengan amat susah payah, aku memanjatnya. Suara semakin jelas terdengar. Dan ketika menemukan para penyanyi lagu “Bang Toyib” itu, air mataku menetes. Menjadi jelas bagiku bahwa dua penyanyi yang ada di dalam pohon itu memang kelaparan, kehausan, dan akan segera mati.
Aku tahu bahwa “Bang Toyib” tercinta yang menafkahi mereka tidak akan pernah pulang. Karena lima ratus meter sebelum sampai ke tempat itu, aku melihat si suami, dan bapak anak itu, telah menjadi mayat. Luka tembak menganga di dadanya.
Burung jantan itu telah membusuk. Rupanya ia mati ketika sedang menunaikan tugas mulia, mencari nafkah. Ia belum terbiasa untuk mewaspadai moncong senapan pemburu. Pedih sekali membayangkannya.
Ketika mengerami anak-anaknya, induk burung Enggang, atau Rangkong, atau Hornbill dikurung di dalam lubang sebatang pohon besar. Untuk meng hindari bahaya dan udara dingin, mempelai jantan membangun rumah pohon dan menutup pintu dengan bahan dari campuran tanah liat. Loket kecil dibuat untuk memasukkan makanan kesukaan sang permaisuri. Lalu dia segera buka catering khusus untuk keluarga barunya.
Setiap hari ia terbang berkilo-kilo meter untuk men-delivery makanan, dan menyuapi sang kekasih dan anak tercinta. Naas, pada Kamis Kliwon kemarin manusia menembak dadanya.
Dalam sekarat, ia membayangkan anak-istri di rumah, yang akan pelahan-lahan mati kelaparan.
ot rudarto